Kepentingan Inggris di Wilayah Islam: Pengaruh di Turki, Syam, Eropa Timur, Timur Tengah, dan Asia Tenggara dengan Menempatkan Pemimpin Boneka Setelah Mengambil Tanah dari Khilafah
Pada awal abad ke-20, Inggris memainkan peran sentral dalam merombak peta politik Timur Tengah dan Asia Tenggara setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Dengan semakin melemahnya kekuasaan Ottoman, Inggris mulai mengeksploitasi situasi untuk memperluas pengaruh mereka di wilayah yang dulunya menjadi bagian dari Kekhalifahan Utsmaniyah, seperti Turki, Syam (Suriah, Lebanon, Jordan), dan Eropa Timur, serta menjajah sejumlah negara di Asia Tenggara. Salah satu strategi utama Inggris adalah dengan menciptakan dan mendukung pemimpin boneka yang dapat dikendalikan untuk menjaga kepentingan kolonial mereka, menggantikan kekuasaan Islam yang lebih otoritatif dan independen.
1. Pengaruh Inggris di Turki: Runtuhnya Khilafah dan Pembentukan Republik Turki
Setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924, Inggris berperan aktif dalam melemahkan sisa-sisa kekuatan Ottoman dan mendorong pembentukan negara-negara baru di wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kekhalifahan. Di Turki, kepemimpinan Mustafa Kemal Atatürk, yang sangat dipengaruhi oleh ideologi Barat, didukung oleh kekuatan asing seperti Inggris. Atatürk berperan dalam mengubah Turki menjadi republik sekuler dan modern, yang secara efektif memutuskan hubungan dengan warisan Khilafah dan menyingkirkan Islam sebagai fondasi negara. Di bawah kepemimpinan Atatürk, banyak tradisi Islam dihancurkan, dan pemerintahan sekuler yang pro-Barat mulai tumbuh, meskipun banyak yang melihatnya sebagai bentuk pemimpin boneka yang mengabdi kepada kepentingan Barat.
2. Pembagian Wilayah Syam dan Pengaruh Inggris
Syam, yang mencakup Suriah, Lebanon, dan Jordan, juga menjadi fokus penting bagi Inggris setelah jatuhnya Khilafah. Dengan berakhirnya Perang Dunia I dan keruntuhan Kesultanan Ottoman, Inggris mendapatkan mandat untuk mengelola wilayah ini melalui Perjanjian Sykes-Picot (1916), yang membagi wilayah tersebut dengan Prancis. Di Syam, Inggris mendirikan negara boneka seperti Yordania, dengan keluarga Hashemite yang telah mereka sokong sebagai penguasa lokal. Mereka memanfaatkan keluarga ini untuk menjaga kendali atas wilayah yang strategis ini, meskipun keluarga Hashemite pada dasarnya menjadi alat untuk memastikan bahwa kepentingan Inggris tetap terlindungi. Begitu pula dengan Lebanon dan Suriah, yang berada di bawah pengaruh Prancis, namun kebijakan Inggris dalam menciptakan pemimpin yang tunduk pada kepentingan mereka tetap terlihat jelas.
3. Eropa Timur: Penaklukan Tanah dan Penempatan Pemimpin Boneka
Di Eropa Timur, wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Khilafah Utsmaniyah, seperti Armenia dan Bulgaria, juga menjadi sasaran ekspansi Inggris. Setelah Perang Dunia I, Inggris tidak hanya memanfaatkan peluang untuk menguasai wilayah, tetapi juga memastikan bahwa pemimpin yang mereka dukung adalah orang-orang yang akan mematuhi perintah mereka. Di wilayah ini, Inggris secara aktif terlibat dalam menanamkan pemerintahan yang pro-Barat, meskipun sering kali mengorbankan kestabilan jangka panjang dan keinginan masyarakat setempat.
4. Pemimpin Boneka di Timur Tengah: Kolaborasi dengan Inggris
Di Timur Tengah, selain di Syam dan Turki, Inggris juga memainkan peran besar dalam penempatan pemimpin-pemimpin boneka di negara-negara lain yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Khilafah Utsmaniyah.
Mesir: Setelah Inggris menduduki Mesir pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, mereka menempatkan Raja Farouk sebagai pemimpin Mesir. Meskipun secara nominal Mesir adalah kerajaan yang independen, kenyataannya pemerintahan Farouk sangat bergantung pada Inggris. Inggris mengontrol kebijakan luar negeri Mesir dan memiliki pengaruh besar dalam banyak keputusan politik. Raja Farouk, yang seharusnya memimpin dengan kekuatan nasional, pada kenyataannya lebih berfungsi sebagai figur simbolis yang dikendalikan oleh Inggris untuk memastikan kepentingan kolonial mereka tetap terlindungi.
Irak: Begitu juga di Irak, yang berada di bawah mandat Inggris setelah Perang Dunia I, di mana mereka mendirikan kerajaan dengan mengangkat Faisal I, seorang anggota keluarga Hashemite, sebagai raja. Faisal, meskipun berasal dari keluarga yang terhormat, sebenarnya dipilih oleh Inggris untuk menjaga kepentingan mereka di Irak, yang kaya akan sumber daya minyak. Inggris mendukung kepemimpinan Faisal sebagai cara untuk mengawasi wilayah ini tanpa harus menanggung beban pemerintahan langsung. Irak baru ini dijadikan negara boneka yang mengabdi pada kepentingan Inggris, meskipun mereka membiarkan beberapa lapisan kedaulatan nominal.
Arab Saudi: Ketika Bani Saud mulai menguasai Hijaz dan membentuk Kerajaan Arab Saudi, mereka juga menerima dukungan dari Inggris, terutama dalam memperoleh legitimasi internasional dan memperkuat kekuasaan mereka di wilayah yang strategis ini. Meskipun Saudi mengklaim sebagai negara Islam yang murni, hubungan mereka dengan Inggris dan penerimaan bantuan militer serta keuangan menunjukkan bagaimana mereka juga dapat dipandang sebagai pemimpin yang tidak sepenuhnya independen, tetapi lebih mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi yang diuntungkan oleh aliansi dengan kekuatan kolonial.
5. Pengaruh Inggris di Asia Tenggara: Penempatan Pemimpin Boneka
Selain di Timur Tengah, Inggris juga memiliki pengaruh besar di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara dengan populasi Muslim besar yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam atau Khilafah. Melalui kekuasaan kolonial, Inggris menciptakan dan mendukung pemimpin-pemimpin boneka untuk memastikan kontrol mereka atas wilayah ini.
Malaya: Di Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia), Inggris telah lama menguasai wilayah tersebut melalui kebijakan kolonial. Di sini, Inggris menempatkan pemimpin-pemimpin yang lebih mengabdi pada kepentingan mereka, seperti sultan-sultan yang memerintah negara bagian di bawah protektorat Inggris. Meskipun sultan-sultan ini secara simbolis dianggap sebagai pemimpin Islam, mereka terikat oleh kebijakan kolonial Inggris yang mengendalikan kebijakan luar negeri dan banyak aspek penting dalam pemerintahan.
Indonesia: Di Indonesia, yang merupakan wilayah dengan populasi Muslim terbesar, Inggris memainkan peran penting dalam melemahkan kerajaan-kerajaan Islam yang ada pada masa itu. Pada abad ke-19, Inggris bekerja sama dengan Belanda dalam mengalahkan kesultanan-sultanan Islam di Sumatra dan wilayah-wilayah lain. Meskipun Indonesia akhirnya menjadi bagian dari koloni Belanda, Inggris memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan nasib banyak kerajaan Islam di wilayah ini, terutama dalam memetakan kembali sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang mereka kehendaki.
Brunei: Sebagai negara dengan kerajaan Islam, Brunei juga menjadi bagian dari wilayah yang dipengaruhi oleh Inggris pada periode kolonial. Pada awal abad ke-20, Brunei menjadi protektorat Inggris, dan meskipun memiliki sultan, kebijakan luar negeri dan banyak keputusan penting negara tersebut dikendalikan oleh Inggris, yang menjaga wilayah ini sebagai bagian dari jaringan kolonial mereka di Asia Tenggara.
Dengan mendukung pemimpin-pemimpin boneka di negara-negara Timur Tengah dan Asia Tenggara ini, Inggris berhasil mempertahankan dominasi dan kontrol mereka atas wilayah-wilayah yang kaya akan sumber daya, sekaligus melemahkan potensi kebangkitan kekuatan politik Islam yang independen. Inggris lebih memilih untuk mengendalikan negara-negara ini melalui penguasa lokal yang lebih mudah dikendalikan, daripada menghadapi potensi perlawanan dari kekuatan Islam yang lebih kuat dan terorganisir.
Kesimpulan
Dengan menciptakan dan mendukung pemimpin-pemimpin boneka di seluruh Timur Tengah, Turki, Syam, Eropa Timur, dan Asia Tenggara, Inggris berhasil mencaplok wilayah-wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari Khilafah Utsmaniyah, sekaligus memperkuat cengkeraman kolonial mereka di kawasan tersebut. Para pemimpin yang didukung oleh Inggris, meskipun secara formal dianggap independen, pada kenyataannya berfungsi sebagai instrumen bagi kepentingan kekuatan kolonial yang lebih besar. Dengan cara ini, Inggris tidak hanya menguasai tanah, tetapi juga membentuk sistem politik yang terus menguntungkan mereka, sementara mengorbankan kedaulatan dan kemerdekaan negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Komentar
Posting Komentar