PBB: Boneka Barat atau Alat Perdamaian Dunia?
Sejak didirikan pada 1945, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Bersatu (PBB) telah dianggap sebagai lembaga internasional yang memiliki peran vital dalam menjaga perdamaian dunia. Namun, meskipun tujuannya mulia, kenyataannya PBB sering gagal dalam mengatasi ketidakadilan dan penindasan yang menimpa umat Islam, serta negara-negara yang terpinggirkan. Alih-alih menjadi penegak keadilan global, PBB sering kali dipandang sebagai alat yang digunakan oleh kekuatan besar untuk mempertahankan kepentingan mereka di dunia.
Ketidakmampuan PBB dalam Menghentikan Kekerasan
PBB memiliki mandat untuk melindungi hak asasi manusia dan menghentikan konflik bersenjata. Namun, kenyataannya, banyak kasus kekerasan yang terus berlanjut meski sudah ada resolusi atau kecaman dari PBB. Beberapa contoh nyata korban yang terhitung antara lain:
Palestina: Lebih dari 100.000 umat Islam Palestina telah tewas dalam konflik ini sejak 1948, dengan banyak korban yang jatuh akibat serangan militer Israel, meski PBB telah mengeluarkan berbagai resolusi untuk menghentikan kekerasan tersebut.
Bosnia (1995): Dalam Pembantaian Srebrenica, lebih dari 8.000 Muslim Bosnia dibunuh oleh pasukan Serbia, meskipun pasukan penjaga perdamaian PBB berada di lokasi tersebut.
Rohingya (2017): Lebih dari 24.000 Muslim Rohingya terbunuh dan hampir 800.000 terpaksa mengungsi akibat kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar, namun PBB gagal dalam menghentikan genosida ini.
Suriah (2011-sekarang): Perang saudara di Suriah telah merenggut lebih dari 500.000 nyawa, mayoritas di antaranya adalah umat Muslim Sunni, dengan PBB hanya memberikan bantuan kemanusiaan tanpa mampu menghentikan kekerasan.
Yemen (2015-sekarang): Lebih dari 250.000 orang tewas dalam perang ini, dengan sebagian besar korban adalah umat Islam, dan PBB gagal menghentikan peperangan yang mempengaruhi jutaan nyawa.
Korban-korban ini hanyalah yang terhitung oleh organisasi internasional dan lembaga kemanusiaan. Namun, jumlah korban yang tidak terhitung bisa lebih besar lagi, karena banyaknya kasus kekerasan yang tidak tercatat dengan baik atau yang terjadi di wilayah yang sulit dijangkau. Di negara-negara seperti Somalia, Afghanistan, Irak, dan Kashmir, angka kematian dan penderitaan umat Islam akibat konflik dan penindasan sulit dipastikan, tetapi dapat diperkirakan jauh lebih tinggi dari yang tercatat.
Sistem Veto yang Membelenggu Keberanian PBB
Salah satu kelemahan utama PBB adalah sistem veto yang dimiliki oleh lima negara permanen di Dewan Keamanan: Amerika Serikat, Rusia, Cina, Inggris, dan Prancis. Negara-negara ini sering kali menggunakan hak veto mereka untuk melindungi kepentingan politik mereka, bahkan ketika jelas-jelas ada pelanggaran hak asasi manusia atau kejahatan perang. Hal ini membuat PBB tidak efektif dalam bertindak tegas terhadap negara-negara besar yang melanggar hukum internasional atau melakukan penindasan terhadap umat Islam.
Kepentingan Barat dalam Menjaga Hegemoni Global
PBB sering dianggap sebagai alat hegemoni yang digunakan oleh negara-negara Barat untuk mempertahankan kekuasaannya di dunia. Dalam banyak kasus, PBB cenderung berpihak pada kekuatan besar, sementara penderitaan umat Islam di berbagai belahan dunia justru terabaikan. Misalnya, dalam konflik-konflik seperti Kashmir, Patani, atau Afghanistan, PBB gagal memberikan perlindungan yang memadai atau menemukan solusi yang adil. Dengan demikian, PBB sering kali dipandang sebagai boneka yang hanya berfungsi untuk memperkuat kekuasaan negara-negara besar, alih-alih menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Keberpihakan pada Negara-negara Besar, Mengabaikan Negara Terpinggirkan
PBB seharusnya menjadi simbol keadilan global, namun kenyataannya lembaga ini sering kali gagal dalam memberikan perlindungan yang memadai bagi negara-negara berkembang atau yang sedang berkonflik. Alih-alih menegakkan perdamaian, PBB seringkali hanya memberikan gimik dalam bentuk kecaman tanpa tindakan nyata. Hal ini terjadi karena pengaruh negara-negara besar yang mendominasi kebijakan PBB, sehingga banyak pihak yang merasa bahwa PBB lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo ketimbang membawa perubahan nyata dalam menyelesaikan ketidakadilan.
Saat Khilafah Tegak, Umat Islam Sejahtera
Dalam sejarah Islam, ketika Khilafah tegak, umat Islam hidup dalam damai dan sejahtera. Bahkan, umat non-Muslim di bawah naungan Khilafah merasa aman dan terlindungi. Sebagai contoh, pada masa Andalusia, umat Islam, Kristen, dan Yahudi dapat hidup berdampingan dalam suasana damai dan harmonis. Kebijakan toleransi agama dan keadilan sosial yang diterapkan di bawah Khilafah terbukti membawa kemakmuran dan kedamaian bagi seluruh rakyat, tanpa memandang agama atau latar belakang mereka.
Namun, sejak runtuhnya Khilafah, umat Islam di berbagai belahan dunia telah menjadi korban penindasan dan kekerasan. Meski dunia mengklaim berjuang untuk perdamaian, kenyataannya kekuatan politik dan ekonomi besar justru membuat PBB tak mampu melakukan apapun. Peran PBB, yang seharusnya menjadi simbol perdamaian dunia, malah menjadi boneka barat yang lebih mengutamakan kepentingan negara besar, daripada menegakkan keadilan sejati bagi umat manusia, khususnya umat Islam.
Kesimpulan
PBB, meskipun didirikan untuk menjaga perdamaian dan keadilan, sering kali gagal dalam peranannya, terutama dalam melindungi umat Islam dan negara-negara terpinggirkan. Kepentingan politik negara besar, sistem veto yang ada, serta kegagalan dalam menanggapi krisis kemanusiaan, membuat PBB lebih banyak berbicara tanpa bertindak. Kini, dunia membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata, tetapi tindakan nyata untuk menegakkan keadilan dan kedamaian bagi semua umat manusia, tanpa terkecuali.
Komentar
Posting Komentar