Oligarki: Hantu Lama yang Terus Menyapa Dunia Modern


Dalam dunia politik, oligarki adalah istilah yang mungkin terdengar klasik tapi faktanya terus menghantui hingga hari ini. Para pemikir besar sudah lama mengingatkan tentang bahaya sistem ini. Plato menyebut oligarki sebagai pemerintahan segelintir orang kaya yang hanya peduli pada kantong mereka sendiri. Aristoteles bahkan lebih blak-blakan: oligarki adalah penyimpangan, bentuk pemerintahan yang memuja kepentingan pribadi segelintir elit di atas kepentingan rakyat banyak. Karl Marx? Dia menyebut oligarki sebagai wajah kapitalisme paling brutal, di mana kekayaan segelintir orang digunakan untuk memperbudak mayoritas.

Sekarang, mari kita lihat ke sekitar kita. Apa yang kita lihat? Dunia hari ini tidak lagi hanya dihantui oleh oligarki—kita sedang dicekik olehnya.

Oligarki Hari Ini: Nama Baru, Cara Lama

Oligarki hari ini tidak selalu terlihat seperti bangsawan tua Eropa atau keluarga elit Sparta. Mereka lebih licik. Mereka pakai jas mahal, duduk di kursi parlemen, mendanai kampanye politik, dan memiliki saham di hampir semua perusahaan besar. Mereka berbisnis atas nama "kesejahteraan," tapi hasilnya? Kemiskinan sistemik untuk mayoritas dan kemewahan berlebihan untuk segelintir orang.

Lihat bagaimana para pemilik modal besar bisa mendikte arah kebijakan negara. Dari harga pangan sampai undang-undang tenaga kerja, semuanya dirancang untuk melindungi mereka. Rakyat biasa? Dipaksa "survive" di tengah inflasi, utang, dan pekerjaan yang tidak manusiawi.

Oligarki modern ini bahkan punya "branding" baru: demokrasi. Tapi, siapa yang kita bohongi? Demokrasi yang mereka tawarkan sering kali tidak lebih dari tirai yang menutupi kekuasaan elit. Kita memilih, mereka yang berkuasa. Kita bersuara, mereka yang menulis skenarionya. Demokrasi hari ini, seperti kata Aristoteles, tak lebih dari jalan tol menuju ochlocracy—kekuasaan massa yang dikendalikan oleh segelintir penguasa.

Rakyat yang Tertipu, Oligarki yang Berpesta

Mari kita jujur: oligarki ini tidak akan pernah pergi jika kita terus diam. Mereka membuat kita sibuk dengan drama politik, debat tidak produktif, dan perpecahan. Sementara itu, mereka melanggengkan kekuasaan mereka. Mereka menciptakan sistem ekonomi yang memaksa kita bekerja keras hanya untuk bertahan hidup, sementara mereka tinggal menghitung keuntungan dari layar laptop mereka.

Di banyak negara, termasuk Indonesia, kita melihat wajah oligarki dalam banyak bentuk. Dari pemusatan tanah oleh perusahaan besar hingga penguasaan media oleh segelintir taipan. Apa yang tersisa untuk rakyat? Hanya janji-janji kosong dari pemimpin yang "seolah-olah" peduli.

Islam Menolak Oligarki

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri. Pemimpin dalam Islam diharapkan menjadi pelayan umat, bukan penjajah yang memanfaatkan rakyatnya. Konsep syura (musyawarah) menolak kekuasaan eksklusif oleh segelintir orang. Sebaliknya, kekuasaan harus mencerminkan keadilan dan kesejahteraan untuk semua.

Seperti yang ditegaskan oleh Sheikh Taqiyuddin an-Nabhani, oligarki adalah penyakit sistem kapitalis, yang tidak pernah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kepemimpinan dalam Islam bukan soal siapa yang punya kekayaan atau koneksi, tapi siapa yang mampu menjalankan syariat Allah dengan adil.

Akhir Kata: Saatnya Bangkit

Cukup sudah kita terjebak dalam sistem yang menghisap darah rakyat kecil. Oligarki, dalam bentuk apa pun, harus dihancurkan. Kita tidak butuh reformasi kecil-kecilan; kita butuh revolusi pemikiran. Demokrasi yang hanya melahirkan oligarki harus digantikan dengan sistem yang lebih adil, sistem yang mengutamakan kemaslahatan umat.

Kita tidak bisa berharap pada mereka yang duduk di puncak kekuasaan untuk membawa perubahan. Mereka adalah bagian dari masalah. Perubahan hanya akan datang ketika kita, rakyat biasa, bangkit, sadar, dan menolak untuk terus menjadi pion dalam permainan besar mereka.

Oligarki? Waktumu sudah habis.

Komentar

Postingan Populer