Strategi Barat dalam Memecah Dunia Islam: Dari Sekularisme hingga Pan-Arabisme


Runtuhnya Kekhilafahan Usmani pada tahun 1924 bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Hal ini merupakan hasil dari rangkaian strategi sistematis oleh Barat, khususnya Inggris dan Prancis, untuk memecah belah dunia Islam. Tujuan utama mereka adalah memastikan bahwa umat Islam tidak lagi memiliki kekuatan terpusat yang mampu menjadi ancaman terhadap dominasi kolonial mereka. Salah satu strategi utama adalah menggantikan identitas Islam global yang berpusat pada Khilafah dengan ideologi seperti pan-Arabisme, yang secara khusus dirancang untuk menjauhkan umat Islam dari jati diri mereka.




Nasionalisme sebagai Pengganti Identitas Khilafah

Salah satu cara Barat melemahkan solidaritas umat Islam adalah dengan mempromosikan nasionalisme, terutama di dunia Arab. Inggris menggambarkan Kekhilafahan Usmani sebagai "penjajah asing" bagi bangsa Arab, meskipun Kekhilafahan adalah sistem Islam yang menyatukan berbagai etnis. Melalui propaganda, mereka menanamkan gagasan bahwa bangsa Arab harus berjuang untuk kemerdekaan dari Usmani. Hal ini berhasil mengalihkan loyalitas umat Islam yang sebelumnya berpusat pada agama dan Khilafah kepada identitas kebangsaan dan suku.



Simbol-Simbol Islam yang Dihapus

Setelah runtuhnya Kekhilafahan Usmani, Barat mendukung penguasa-penguasa sekuler seperti Mustafa Kemal Atatürk di Turki, yang dengan sengaja mengganti sistem Islam dengan republik sekuler. Langkah ini meliputi penghapusan hukum syariah dan penggantian simbol-simbol Islam dengan sistem hukum dan pemerintahan berbasis Barat.



Pembagian Wilayah melalui Perjanjian Sykes-Picot

Perjanjian Sykes-Picot (1916) menjadi momen penting dalam strategi Barat. Inggris dan Prancis membagi wilayah Kekhilafahan Usmani menjadi negara-negara kecil berdasarkan batas-batas buatan yang tidak memperhatikan sejarah, etnis, atau agama. Tujuannya jelas: menciptakan negara-negara lemah yang saling bersaing sehingga sulit untuk bersatu kembali. Akibatnya, konflik-konflik antarnegara Arab terus berlangsung hingga hari ini, seperti perseteruan Irak dan Suriah atau persaingan Mesir dan Saudi.




Keluarga Saud dan Peran Inggris di Jazirah Arab

Salah satu langkah strategis Inggris untuk melemahkan Kekhilafahan Usmani di jazirah Arab adalah mendukung keluarga Saud dan sekutunya, Muhammad bin Abdul Wahhab, yang menyebarkan ajaran Wahabi. Gerakan ini, meskipun menggunakan retorika agama, secara politis didukung oleh Inggris untuk melawan otoritas Usmani di wilayah Hijaz dan sekitarnya.

1. Persekutuan Inggris-Saud
Inggris memberikan dukungan militer dan finansial kepada keluarga Saud, yang kemudian menguasai wilayah yang kini menjadi Arab Saudi. Dengan bantuan Inggris, keluarga Saud berhasil menggulingkan kekuasaan lokal yang masih setia kepada Usmani, termasuk kekuasaan Syarif Hussein di Makkah dan Madinah.


2. Pendirian Arab Saudi
Pada tahun 1932, kerajaan Arab Saudi secara resmi berdiri dengan ideologi Wahabi sebagai dasar pemerintahannya. Negara ini diciptakan bukan untuk menyatukan umat Islam, melainkan untuk menciptakan kekuatan lokal yang setia pada kepentingan politik Barat, terutama dalam menjaga stabilitas dan akses terhadap sumber daya minyak di kawasan itu.


3. Memisahkan Hijaz dari Khilafah
Penguasaan keluarga Saud atas wilayah Hijaz (termasuk Makkah dan Madinah) secara efektif menghilangkan kontrol dunia Islam terhadap dua kota suci ini. Dengan demikian, simbol-simbol persatuan Islam yang berpusat di Hijaz berada di bawah kendali rezim yang mendukung narasi nasionalisme dan bersekutu dengan Barat.




Pemimpin Boneka dan Rezim Sekuler

Barat mendukung pemimpin-pemimpin seperti Syarif Hussein bin Ali, yang berkhianat kepada Usmani dengan janji kemerdekaan. Namun, setelah perang, mereka hanya menjadi penguasa boneka di bawah kendali kolonial. Hal ini juga berlaku untuk negara-negara yang kemudian dipimpin oleh rezim sekuler seperti Gamal Abdel Nasser di Mesir, yang mempromosikan ideologi pan-Arabisme tetapi melemahkan koneksi umat Islam dengan Islam itu sendiri.


Penyebaran Sekularisme dan Materialisme

Barat juga memanfaatkan sistem pendidikan dan media untuk menyebarkan nilai-nilai sekularisme dan materialisme. Sistem pendidikan di negara-negara Muslim diarahkan untuk memisahkan agama dari kehidupan publik, sementara media Barat menyebarkan budaya konsumerisme yang menjauhkan umat dari nilai-nilai Islam.


Narasi Islam Radikal vs Islam Moderat

Barat menciptakan narasi bahwa "Islam politik" adalah ancaman, sementara mereka mendukung "Islam moderat" yang tidak menantang sistem dunia sekuler. Kelompok-kelompok yang menyerukan kembalinya Khilafah sering dicap sebagai ekstremis, untuk menjauhkan umat Islam dari ide persatuan dan sistem politik berbasis syariah.


Kesimpulan

Strategi ini secara keseluruhan dirancang untuk mencabut akar jati diri umat Islam yang selama berabad-abad berpusat pada persatuan dan Khilafah. Pan-Arabisme, sekularisme, dukungan kepada keluarga Saud, dan batas-batas negara bangsa hanyalah alat yang digunakan Barat untuk memastikan bahwa umat Islam tetap terpecah.

Untuk melawan ini, umat Islam perlu menghidupkan kembali kesadaran sejarah, memahami bagaimana identitas mereka dipecah, dan berusaha mengembalikan nilai-nilai Islam sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh. Dengan memahami dan belajar dari sejarah, umat Islam dapat kembali bangkit dan memperjuangkan persatuan di bawah panji Islam.

Komentar

Postingan Populer